Anak,
Ibu dan Misi Cinta
Oleh : Brayen Sandyasmoko, Head of Corporate
and Marketing Communication Departement
Alkisah,
datanglah seorang sahabat kepada Khalifah Umar bin Khattab. Ia bercerita tentang
bagaimana ia begitu mencintai ibunya. Ia selalu menggendong ibunya yang lumpuh,
kemanapun sang ibu ingin pergi. Ia juga memandikan dan mensucikan dari semua
hadasnya. Ia melakukan semua itu penuh keikhlasan sebagai bukti bakti dan
cintanya kepada orangtuanya.
“Wahai khalifah,
apakah sudah cukup pengabdianku ini untuk membalas budi ibuku?” tanya sang
sahabat. “Tidak” kata Khalifah Umar tegas. Sahabat itu pun kaget. Ia kemudian
melanjutkan lagi pertanyaan kepada Khalifah Umar. “Apa yang kurang, wahai khalifah?
Semua yang terbaik yang bisa aku lakukan untuk ibuku telah aku lakukan.” tanya sahabat
lagi.
Umar pun
menjawab, “kamu tidak akan pernah bisa membalas budi baik ibumu, karena kamu
melakukannya sembari menunggu kematiannya. Sementara ibumu, dia merawatmu justru
karena mengharap kehidupanmu,”
Begitulah Islam
menggambarkan bagaimana tingginya derajat seorang ibu. Tak akan pernah ada yang
bisa membalas cinta seorang ibu, apalagi mengimbanginya. Cinta ibu mengalir
dalam darah dan ruh setiap anak. Meski anak adalah buah cinta dua hati, tapi
kelahirannya tidak dititipkan di dalam dua rahim. Ia hanya dititipkan dalam
rahim sang ibu. Selama sembilan bulan, sang calon anak hidup dan bergulat di
dalam sunyi sambil menyedot saripati sang ibu. Ia kemudian keluar di antara
darah. Inilah ruh baru yang Allah subhana wa ta’ala hadirkan lewat ruh
yang lain, yakni ibunya.
Kisah tentang
kemuliaan sang ibu pernah juga diungkap dalam kisah sahabat yang lain. Alkisah,
Ibnu Umar pernah melihat seseorang yang sedang menggendong ibunya sambil thawaf
mengelilingi Ka’bah. Lalu, sang sahabat berkata kepada Ibnu Umar. “Wahai Ibnu
Umar, menurut pendapatmu apakah aku sudah membalas kebaikan ibuku?” “Belum,”
kata Ibnu Umar. “Bahkan, apa yang kau lakukan belumlah sebanding dengan satu
erangan ibumu saat akan melahirkanmu,” kata Ibnu Umar lagi.
Pantaslah bila
Islam kemudian bahkan menggandeng ketinggian derajat untuk kita menghormati
orang tua bersamaan dengan perintah tauhid. “Katakanlah: Marilah kubacakan apa
yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu yaitu: jangalah kamu mempersekutukan
sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapakmu, dan
janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut miskin, Kami akan memberi
rezeki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan
yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah
kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu
(sebab) yang benar”. Demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu
memahami(nya)” (QS. 6:151)
Cinta sang ibu
kepada kita adalah sebuah cinta misi. Cinta yang lahir dari metamorfosis darah
dan daging sang ibu, yang lahir dari sebuah kesepakatan. Ia juga merupakan
campuran darah dan jiwa alias ruh. Tak heran, bila kemudian sang ibu saat
menatap anaknya yang sedang tidur terlelap, maka ia akan berkata di dasar hatinya.
“Inilah darahku, inilah jiwaku.” Saat sang ibu sedang memandang anaknya yang
sedang merangkak dan belajar berjalan, di dasar hatinya, ia akan berkata, “Inilah
hidupku, inilah harapanku.”
Maka wajarlah
ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam menyebutkan nama ibu
hingga tiga kali sebelum menyebut nama ayah, saat ditanya siapa yang patut kita
perlakukan dengan baik.
Bagi seorang
ibu, anak adalah amanat langit yang harus dipertanggungjawabkan di akhirat. Dalam
segala perasaannya, seorang ibu selalu meyakini bahwa kehadiran sang anak juga
menjadi penentu masa depannya di akhirat.
Tentunya dalam
segala perasaan yang ada, sang ibu tidak berdiri sendiri. Ada sang ayah yang
selalu bersamanya. Sebab anak bukti kesepakatan jiwa mereka. Seperti halnya
juga ibu, sang ayah pun selalu akan berdoa agar anak-anaknya menjadi sumber
kebaikan bagi mereka di akhirat kelak. Dan, doa sang ayah dan ibu terhadap
potongan jiwanya, maka itu akan selalu menjadi doa yang terkabul.
Sebagaimana
diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shalallahu
‘alaihi wassalam pernah bersabda. “Ada tiga doa yang diterima oleh Allah subhanallah
wa ta’ala secara langsung yaitu doa orang yang teraniaya, doa seorang
musafir, dan doa orang tua terhadap anaknya.” (HR. Turmudzi, Ahmad dan Abu
Daud)
Wallahu ‘alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar